Hitam Putih Prestasi dan Legacy (warisan) para Bupati Bima.
Oleh. Alvi Syahrin, M.Si.*
Tidak ada kekuasaan yang benar_benar sempurna. Ideologi apapun selalu gagal menghadirkan realitas utopis yang dituju manusia. Monarki misalnya identik dengan oligarki, fasisme memicu totalitarianisme, komunisme menjadi musuh agama dan theokrasi mendorong fatalisme bahkan dalam praktek kekuasaan yang demokratis pun menjadi pemicu terjadinya diskriminasi dan Borjuisme-kapitalis.
Oleh karena itu kekuasaan dan penguasa selalu punya sisi gelap dan terang dalam prakteknya. Idealitas kekuasaan mungkin hanya ada sebagai cita_cita dan fantasi imajinasi dalam angan fikir kognitif bukan dalam realitas empiris.
Kekuasaan sepertinya mengalami anomali dari yang harusnya terjadi dan diinginkan publik. Reformasi politik tidak menyegerakan perbaikan kualitas penguasa, otonomi daerah tidak menjadi solusi ketimpangan sosial ekonomi bahkan pilkada langsung tidak menjadi solusi bagi akselerasi pembangunan. Akibatnya kutukan publik pada kekuasaan tak kunjung berhenti.
Sirkulasi kekuasaan politik di Bima sejak era sultan Abdul Kahir hingga Bupati Indah Damayanti Putri. Mengisahkan banyak cerita, kesan, prestasi dan juga catatan kritis publik. Sultan Abdul Kahir mungkin yang paling melegenda. Dikenal sebagai bupati yang pemberani, dermawan, dan raja yang kebal dan sakti mandraguna(bisa ro guna). Dia melegenda tidak saja dalam mitos melainkan juga dalam realitas.
Sayangnya kontribusi dan peran historisnya di masa lalu sebagai sultan Bima tidak luput dari kritik tajam publik. Termasuk gagalnya menjadi salah satu pahlawan nasional.
Ingatan publik di Bima tidak terlalu baik dari sudut pandang historis dan kultural terutama dalam merekam, mengapresiasi, dan mengenang romantisme kekuasaan dan dinamika politik lokal. Misalnya banyak kisah dari bupati_bupati import yang pernah berkuasa di Bima seperti Letkol Suharmadji, M.Tohir, Umar Haroen, Halim Jafar, Adi Haryanto.
Bupati_bupati ini dikenal masyarakat sebagai figur hebat dalam membudayakan kedisiplinan, koordinasi dan konsolidasi birokrasi. meskipun, elitis dalam membangun relasi dan komunikasi sosial dengan publik. Jarang ada cerita buruk tentang korupsi, gratifikasi dan nepotisme dalam pusaran kekuasaannya. Tidak ada isu jual beli jabatan, mutasi kr dendam politik, akomodasi penjabat tanpa kompetensi apalagi fee proyek tanpa proses transparansi yang menuai kontroversi.
Mereka bupati yang profesional dan memiliki integritas tinggi. kredibilitasnya mumpuni, reputasinya teruji dan memperoleh cukup prestasi sebagai kepala daerah. Kebijakannya dipatuhi publik, kata2nya dipercaya dan tentu saja jarang dihujat dan ditagih janji politiknya.
Sebagai penguasa mereka meninggalkan banyak warisan berupa ketegasan, integritas, dan akuntabilitas kekuasaan yang baik karena itu nyaris tanpa cela dan catatan buruk yang berarti. Hanya Bupati Suharmadji yang pernah terlibat konflik sengit dalam peristiwa 1972 dengan masyarakat Donggo karena dianggap diskriminatif dalam pengaturan distribusi pembangunan.
Situasi politik di masa bupati dari kalangan tentara cenderung lebih stabil, tekanan politik berkurang, publik tidak depresi karena bupati tidak suka ingkar. Mereka bupati yang otentik tidak suka poles diri dengan menjual citra.
Sehingga tidak ada pisang yang ditanam di tengah jln kr protes, tidak ada hadangan dalam kunjungan kerja, dan caci maki publik pada bupati. Kepala daerah dahulu adalah aktor yang kompeten. Kreatif membuka dialog, cerdik mengatur emosi massa, dan produktif dalam berkuasa.
Era kepemimpinan bupati dengan latar belakang militer sangat baik menciptakan integrasi kultural dan kohesivitas sosial.
Hutan_hutan pun terjaga, peladang liar ditindak tegas, kerawanan sosial berkurang, kriminalitas dan kekerasan diatasi tuntas. Bupati tentara memang sarat prestasi tetapi kelemahanya di satu sisi, mereka cukup kaku dan disegani publik karena tidak jarang intimidatif dan represif kalau mendapatkan resistensi.
Tiba masa putra daerah menjadi bupati Bima saat H.Zainul Arifin dipilih secara demokratis oleh 45 anggota DPR. Kepemimpinanya sangat religius, tegas dan cukup dialogis. Prestasinya mentereng mengangkat banyak honorer menjadi PNS tetapi catatan hitam publik tentu saja tidak mudah terhapus saat rusaknya hutan Ncai Kapenta dan kontroversi kecurangan penerimaan test CPNS di eranya. Kepemimpinan putra daerah seolah menginisiasi hadirnya banyak petaka sosial politik, ekonomi hingga problem ekologis.
Pilkada tahun 2005 menjadi awal putra daerah untuk kedua kali terpilih kembali yaitu setelah Ferry Zulkarnain mengalahkan bupati petahana Zainul Arifin dalam sebuah kontestasi pilkada yang benar2 sengit menguras,tenaga, pikiran dan materi yang cukup melelahkan.
Tipe dan gaya kepemimpinan Dae Ferry_Usman Ak, harus diakui banyak disanjung dan disukai publik. Keduanya sangat dekat, akrab dan memiliki kemampuan komunikasi politik yang unik dan mengagumkan dengan publik. Dae Ferry memiliki kebiasaan tidur di desa_desa, menyukai organ tunggal, dan hobbi memancing. Kebiasaan ini memicu merebaknya isu bahwa beliau bukan pemimpin yang religius.
Selama menjadi bupati secara makro pembangunan berjalan baik meski tidak banyak yang spektakuler. Ide membangun kantor Bupati dan parugana,e di setiap kecamatan adalah karya dan prestasinya. Catatan buruknya adalah gagalnya membangun negosiasi dan komunikasi politik persuasif dan empatik yang efektif dengan masyarakat Lambu soal tambang.
Saat Sk 188 diterbitkanya, seolah menyiram bensin dalam bara api kebijakannya menuai protes dan perlawanan luas dari masyarakat Sape dan Lambu.Dialog tidak tercapai dan kebuntuan negosiasi gagal mencapai konsensus. Protes dan demonstrasi yang di luar kendali berujung pada pembakaran kantor bupati Bima. (Penulis dilantai 2 gedung setda saat kejadian). Catatan kelam lain yang diwariskan selain bentrok berdarah di pelabuhan Sape adalah kasus sampan fiber glass yang tidak kunjung berhenti jadi komoditas dan sensasi publik.
Begitulah kekuasan dan penguasa dalam politik. tidak ada yang benar2 sempurna. Kita mungkin dengan mudah dapat menjumpai rentetetan prestasi pemimpin di permukaan panggung depan kekuasaannya. Akan tetapi rahasia keburukan kekuasaan kerap banyak disembunyikan di panggung belakang. Ada intrik, konspirasi, korupsi, bahkan tragedi yang tidak terungkap secara sengaja.
Setelah Bupati Ferry meninggal wakilnya H.Syafruddin menggantikannya selama satu tahun setengah. Sosoknya yang intelektual, kaya, dan religius juga ramah cukup mengesankan publik. Pembangunan jalan dua arah dan penuntasan kantor Bupati Bima menjadi catatan manisnya.Tahun 2015 berposisi sebagai petahana menjadi kontestan pilkada dan ditantang oleh Dinda Damayanti Putri mantan istri bupati Bima dua periode Ferry Zulkarnain dan di luar dugaan publik sukses mengalahkan superioritas petahana(H.Syafruddin).
Kekalahan ini dalam catatan publik dipengaruhi oleh banyak faktor selain inkonsistensi aparat birokrasi. Kekecawaan tim karena sikap personal Aji Syafru yang dianggap terlalu irit(kappi) dalam memfasilitasi modal logistik operasional tim dan kampaye menjadi catatan buruk di samping prestasi baiknya.
Tampuk kekuasaan selanjutnya dikendalikan penuh oleh Dinda-Dahlan.keduanya tidak pernah diunggulkan publik karena rendahnya kompetensi(modal ijazah paket C), pengalaman yang minim juga kapasitasnya yang dianggap tidak memadai. Membuatnya diragukan menjadi bupati yang sukses.Meski demikian, umi dinda dikenal sbg perempuan yang ramah, dermawan, baik hati dan tentu saja menawan hati. Senjata politiknya adalah tangis, air mata jadi cara menenun empati, trah kesultanan dieksploitasi.
Impresi publik yg positif terhadap karakter umi dinda yang melekat dengan etik seolah beririsan dengan momentum takdir kematian suaminya. Membuatnya mendulang berkah limpahan simpati publik yg tinggi. Hal ini menjadi alasan yang meningkatkan basis elektoralnya sehingga secara dramatis terpilih telak dan jungkalkan petahana.
Kepemimpinannya selama 3, 5 tahun terakhir dalam penilaian dan persepsi publik tidak cukup mengesankan. Baik dalam catatan grafik statistik makro pembangunan maupun dalam perspektif kognitif sosial publik. Masyarakat menilainya banyak gagal akibat ramainya kerawanan sosial seperti kasus kekerasan pembunuhan, kelangkaan pupuk, rusaknya hutan, kasus bibit jagung dan lemahnya daya saing daerah.
Secara objektif Dinda_dahlan mencatatkan beberapa prestasi. Salah satunya mendapatkan penilaian WTP dari BPK RI dalam tata kelola keuangan, meraih predikat kabupaten literasi terbaik, dan pemindahan kantor bupati. Sayangnya publik tidak cukup memiliki konfidence atas performa kepemimpinanya. Sehingga isu ganti bupati marak menjelang kontestasi. Bupati indah Damayanti secara kuantitatif dibandingkan dengan wakilnya lebih sering mendapatkan kritik publik yang bersifat personal termasuk tudingan membangun politik dinasti setelah putranya terpilih menjadi ketua DPRD.
Pertanyaanya? Dari semua bupati di atas, adakah yang tercatat tanpa cela. Adakah prestasinya yang tanpa gugatan. Adakah kekuasaan dan kebijakannya yang tuntas menjawab keinginan dan aspirasi publik.
Kalau jawabanya tidak ada. Lalu untuk apa masing_masing pendukung Umi Dinda dan Syafaad saling membongkar aib. Soal Pajero dan Soal mobil yang digadai dan digunakan kerabat petahana di Mataram. Rasanya tidak substantif karena bukan itu yang dibutuhkan sebagai solusi kemajuan daerah.
Kita harusnya sibuk mengucapkan pikiran bermutu, mendidik publik dengan etika demokrasi, mendorong calon bupati menemukan solusi kreatif membangun daerah, memaksimalkan potensi daerah dengan memperbaiki regulasi investasi, menginisiasi perda harga garam, harga jagung, harga ternak,meningkatkan SDM, menciptakan inovasi teknologi di SMk, SMA, menyiapkan kebutuhan energi yg memadai, membangun kolaborasi riset dengan universitas2 nasional dan lokal untuk menggali potensi daerah.
Gagasan ini yg harusnya dicetuskan calon bupati dan penantang bupati bukan perang tagar, dan diksi_diksi pejoratif yg merendahkan moralitas publik. Publik menuntut warisan (legacy)bermutu dari kekuasaan yaitu kesejahteraan yang dihadirkan oleh produktifitas kekuasaan. Publik menghendaki janji aspirasi pembangunan dituntaskan, publik menghendaki demokrasi dan politik nilai dan gagasan menjadi substansi bukan ritus prosedural yang menghabiskan ongkos tanpa kualitas.
# Jangan habiskan anggaran besar pilkada untuk pertontonkan kemunduran demokrasi#
*Penulis adalah Kandidat Doktor UNHAS Makassar.