Para ahli sosial seperti antropolog telah menyusun konsep dan definisi tentang kebudayaan kurang lebih sekitar dua ratus jumlahnya. Ada yg melihat kebudayaan sebagai keseluruhan yang kompleks yg meliputi pengetahuan, kepercayaan,seni, kesusilaan,hukum, adat istiadat dan kesanggupan_kesanggupan lain yg dipelajari( Tylor).
Semua dimensi dari kehidupan manusia tidak bisa dilepaskan dari konstruksi dan kontribusi kebudayaan.Karena itu semua hasil karya, rasa dan cipta manusia adalah kreasi dari kebudayaan kata Selo Sumarjan.
Kebudayaan sebagai keseluruhan pengetahuan manusia menurut Parsudi berfungsi sebagai cara dan strategi yang digunakan untuk memahami dan menginterpretasikan lingkungan dan pengalamanya. Budaya menjadi faktor pembentuk yang dominan dan determinan bagi tersusunnya pola_pola perilaku dan tindakan manusia menurut Ruth Benedict.
Oleh karena itu kebudayaan menjadi parameter ketinggian peradaban dan kemajuan sosial dalam suatu bangsa sejak era pre_histori hingga abad modernitas. Secara antropologi kebudayaan dipahami sbg way of life(cara pandang hidup), way of doing (cara bekerja), dan way of act( cara bertindak/berperilaku).
Kita begitu kagum pada peradaban barat yang melahirkan kota_kota megapolitan yang dipenuhi gedung_gedung kebudayaan material pencakar langit (sky scrapper) meminjam istilah antropolog Marvin Harris. Arsitektur kota-kota di Eropa dibangun dengan imajinasi, kecerdasan, ketinggian ilmu pengetahuan yg ditopang oleh estetika manusia sebagai homo faber (pencipta) dalam istilah Hannah Arrendt. Sungai_sungai bersih seperti di Belanda yang ramai jadi tempat studi komparatif dari banyak negara. Bandingkan dengan sungai_sungai, selokan, got dan drainase kita di Indonesia yang problematik. Tersumbat sampah dan kotor karena budaya tertib yg belum menjadi kebiasaan.
Demikian juga dengan sungai tempat bermain Gondola (perahu tradisional) di Venezia Italia menjadi destinasi jutaan turis karena daya pikat budaya dan eksotisme tradisinya.
Keunggulan Barat bukan semata terletak pada kreasi kultural yang material.Akan tetapi pada keteraturan sosial hidup warga negara. Disiplin yang mengesankan, kosmologi fikir kolektifnya yang rata_rata rasional, perilaku antrinya yang tertib, kesadaran hukum yang tinggi, etika sosial yang menakjubkan, pendidikannya yang maju, politik dan demokrasinya yang matang.
Hampir semua pranata dan regulasi dipatuhi tanpa resistensi. Warga negaranya mau dan mudah diatur, pemerintahnya didengarkan sehingga setiap aturan ditegakkan secara rasional dan proporsional.
Orang_orang Barat tidak hanya inovatif dan pintar menyusun hipotesis dan postulat akademik dalam ragam definisi tentang kebudayaan. Tetapi mereka juga cerdas, sadar, dan konkrit menerapkannya dalam kehidupan nyata. Sehingga kebudayaan sebagai teks teruji dalam konteks oleh karena itu fungsi budaya bagi mereka di Barat adalah menjadi moral force(kekuatan etik) yang memicu tingginya etos kerja, membentuk karakter altruisme, humanis, dan respek.
Kebudayaan mendorong orang_orang barat lebih rasional dalam menentukan perilaku sosialnya. Budaya sains yg tinggi membuat rata_rata masyarakatnya memiliki apa yang disebut Frederick Nietzhe sebagai "kreatifitas iconoclasm"keinginan diri mencipta di luar batas diri untuk menghasilkan nilai_nilai baru dengan mereduksi nilai_nilai lama yang dianggap menciptakan stagnasi perubahan.
Sebaliknya di Indonesia konsep_konsep dan definisi saintis cenderung dibenturkan dengan ide agama. Lihat saja soal covid 19 ahli_ahli agama seperti ulama yg memiliki otoritas dan integritas di bidang agama. Fatwanya jadi lelucon, polemik dan kontroversi oleh oknum dan pihak yg tidak mengerti fiqih. Asing dan awam dengan rukshah, illat, dan mudharat.
Keputusan pemerintah sebagai sumber otoritas tertinggi dalam negara digugat oleh yg tidak punya kapasitas. Akibatnya kekacauan terjadi perang retorika, narasi dan propaganda tidak terhindarkan tanpa adab dan budaya menyeruak tanpa kendali.
Saya menemukan adu arogansi antara yg mendalilkan premisnya pada pemahaman agama yg sempit dogmatis dengan logika sains yg rasional. Soal ditiadakan slt jum'at sebagai tindakan preventif membatasi paparan virus secara medis digugat secara kaku dengan perspektif agama yang keliru.
Keunikan dan cita rasa Islam yang transformatif, fleksibel dan adaptif hilang estetika dan orisinalitasnya karena ceroboh memandang konteks. Hal wajib dalam islam bisa menjadi tidak apabila ada kondisi dan situasi yang darurat. Bagi yang komprehensif mempelajari Islam akan menemukan bahwa arsitektur isi Alqur'an, Hadist, Sunnah, Ijma dan Qiyyas sangat kontekstual dan fleksibel.
Interpretasi sains dan agama dalam islam tidak pernah saling menegasi. Keduanya dapat menjadi sumber tertib sosial yang sama. Agama mengajarkan kepatuhan absolut pada ajaran kitab suci dan sains menghendaki manusia bertindak rasional. Tidak ada agama tanpa akal begitu kaidah agama mengajarkan. Agama Islam menyuruh patuh pada pemimpin(ulil Amri) kepada Al Warisu Anbiya(ulama) dan kepada orang alim( ahli ilmu/cendekiawan).
Kepatuhan, ketundukan, kesadaran adalah sumber terciptanya tertib sosial. Suatu situasi antropologis yang menggambarkan kondisi kehidupan yang aman, dinamis, dan teratur selaras antara tindakan, nilai dan norma dalam hubungan sosial.
Kebudayaan itu adalah order yaitu suatu nilai dan norma yang berlaku dan harus dipatuhi oleh seluruh anggota masyarakat. Sayangnya sebagai pranata kebudayaan belum menjadi tindakan yang membudaya. Di larang berkumpul dalam keramaian karena bahaya penyebaran corrona malah mall penuh, tempat wisata sesak ramai pengunjung dan agenda pertemuan agama seperti di Gowa tetap berlanjut.
Oleh karena itu penting kita meletakan kembali fungsi kebudayaan sebagai kerangka etik rasional yg membentuk adab perilaku dan cara pandang sosial yg produktif.Tertib sosial hanya bisa terwujud kl ada kesediaan warga negara untuk melepaskan sebagian dari kebebasan kodratinya untuk orang lain. Hanya dengan cara itu kehidupan kolektif dapat tertib terselenggarakan kata Thomas Hobbes. Dan kebudayaanlah yang menjadi syarat dan elemen penting yang dapat membentuknya.
*penulis adalah candidate Doktor
Magister Kebijakan Publik
Kandidat Doktor
Universitas Hasanuddin Makassar
*penulis adalah candidate Doktor
Magister Kebijakan Publik
Kandidat Doktor
Universitas Hasanuddin Makassar