Opini by Tasrif
By. Tasrif Azis, M.Pd.
Pandemi CoronaVirus Disease (Covid-19) telah merubah dan menggeser nilai nilai kehidupan bahkan cara pandang manusia yang satu dengan yang lain menjadi berbeda saat ini, Covid telah merubah nilai baru tata kehidupan sosial, politik, ekonomi, budaya bahkan agama sekalipun hanyut dan terhanyut oleh corona, luar biasa pandemi ini telah berhasil memunculkan nilai nilai baru dalam tatanan kehidupan ummat manusia hari ini.
Dokter menghimbau jaga jarak sosial, social distancing. Lalu MUI memperkuat himbauan itu dengan mengeluarkan fatwa agar tidak sholat Jumat atau sholat berjamaah di masjid. Logikanya, kalau Anda setuju dengan saran dokter, harusnya Anda juga setuju dengan fatwa MUI. Khan esensi dari saran dokter dan fatwa MUI adalah "jaga jarak". Dihimbau untuk tidak berjam'ah atau jumat supaya kita bisa jaga jarak. Jaga jarak bisa memutus penyebaran corona. Dalilnya begitu.
Harusnya fatwa ulama menjadi suara terakhir yang harus didengarkan ummat Islam. Suara ulama adalah suara tertinggi dan paling suci. Suara ulama adalah suara Tuhan. Oleh karena itu, harusnya tidak ada lagi yang bertengkar soal fatwa. Ulama ditiru dan dipatuhi fatwahnya karena kapasitas keilmuan dan kredibilitasnya di bidang agama. Mereka itu menguasai Alquran Hadist, hafal tarikh Islam, ilmu rafsir, belajar bahasa Arab, dan seterusnya. Lha, kamu ?
Para ulama yang duduk di MUI, tentu saja bukan sembarang ulama, kapasitas dan kredibilitas keilmuan mereka tidak diragukan lagi. Butuh waktu lama utk sampai menjadi ulama. Belajar agama lewat youtube, WA dan medsos tidak akan sampai pada tangga ulama, karena di sini, di medsos banyak ajaran HOAX.
Keputusan MUI tentang sholat jumat diganti dgn sholat duhur terutama zona terpapar virus tentu bukan keputusan asal-asalan. Berbagai dalil aqli dan naqli, termasuk pertimbangan sosioculktur telah mereka pelajari secara saksama. Kalau Anda tidak meragukan keilmuawan ulama, harusnya Anda juga tidak ragu dgn fatwa ulama tentang sholat Jumat.
Kalau saya sendiri melihat tak masalah dgn himbauan itu. Kalau dilarang sholat berjamah atau Jum'ah di masjid, kita sholat saja di rumah masing- masing secara berjama'ah. Yang menjadi masalah adalah kalau kita tdk sholat sama sekali, lalu mempersoalkan fatwah MUI. Saya yakin, jauh atau dijauhkan dari masjid utk sementara waktu, bukan berarti menjauh dari Tuhan, Ummat muslim dihimbau utk tidak sholat jum'at tentu saja karena ada sebabnya.
Saking anti-nya terhadap fatwa itu, seorang mahasiswa magister sampai mengatakan ;
"lebih baik mati di masjid daripada mati mengurung diri di rumah".
Emangnya kamu pikir mati di masjid langsung masuk syurga. Lalu bagaimana kalau org tua Anda mati saat ia sdg sujud dan berzikir di rumah, apa ia masuk neraka. Terus para dokter yg mati di rumah sakit karena virus itu masuk neraka. Itu semua adalah spekulasi manusia soal syurga dan neraka.
Sebenarnya, kalau beragama ukurannya adalah pahala, maka ada banyak sumber pahala yg bisa kita lakukan utk mengganti pahala ibadah Jum'at. Misalnya ngaji, sholat duha, puasa sunnat, tahajut dan berzikir, mengajar ngaji anak-anak dan istri-istri, dan keluarga. Itu semua punya nilai pahala dan ibadah. Jgn pernah berpikir bahwa hanya yg sholat di masjid yg masuk surga. Bahwa sholat jumat atau berjamaah di masjid itu wajib. Setuju. Di dalam kehidupan itu, ada banyak hal yg harus diperhatikan, termasuk soal kesehatan diri dan orang lain. Tidak melulu soal sholat.
14 Abad yg lalu Nabi Muhammad wafat, ajaran- ajarannya sudah ada dan sempurna. Nabi tidak mewariskan harta, tapi ajaran dan ilmu. Tp semua ajaran itu tidak akan dipahami oleh ummat kecuali atas tinta dan peran ulama. Semua ajaran Nabi Muhammad diwariskan kepada para ulama. Tugas ulama adalah menjelaskan ajaran Nabi. Lalu kita ikuti. Ini makna ulama warasatul anbiya.
Saya tidak yakin Islam di Bima akan hancur, iman kita rusak hanya karena melaksanakan himbauan MUI. Musuh umat Islam bukan ulama, tetapi musuh kita adalah keterbelakangan, kemiskinan, moralitas anak anak muda, dll.
Kita ummat Islam, jgn pula takabur soal corona menurut ilmu kedokteran tidak ada org yg kebal terhadap virus ini. Ia bisa menginveksi siapa saja, tanpa permisi soal gama, suku, profesi apa saja, semakin tinggi tingkat keshalehan seseorang bukan berarti tdk bisa dipapar oleh virus ini.
Dalam kepustakaan medis, tak ada istilah penyakit kutukan. Apalagi kutukan yg hanya menyasar kelompok orang, budaya atau agama tertentu. Istilah kutukan itu sebuah mitos yg pernah ada di mana lalu yang bisa dipersoalkan kebenaranya secara sains modern. Mempertandingkan mitos versus logos bukan lg eranya. Era mitos sudah selesai, kita sedang menuju era rasionalitas logos.
Mari, demi kesehatan kita lakukan tindakan priventif, ikuti saran dokter, amankan fatwa MUI.
Semoga wabah penyakit atau pandemi global coronavirus disease - Covid 19 ini segera berlalu dihadapan kita semua, dan tidak meninggalkan fitnah serta ghizwul fiqri yang berkepanjangan kepada kita semua Aamiin
Semoga wabah penyakit atau pandemi global coronavirus disease - Covid 19 ini segera berlalu dihadapan kita semua, dan tidak meninggalkan fitnah serta ghizwul fiqri yang berkepanjangan kepada kita semua Aamiin
*Penulis adalah Dosen STKIP
Kota Bima Nusa Tenggara Barat