Cari Blog Ini

Sabtu, 28 Maret 2020

Anti Dokter dan Fatwa Ulama --


Opini by Tasrif

                  By. Tasrif Azis, M.Pd.


Pandemi CoronaVirus Disease (Covid-19) telah merubah dan menggeser nilai nilai kehidupan bahkan cara pandang manusia yang satu dengan yang lain menjadi berbeda saat ini, Covid telah merubah nilai baru tata kehidupan sosial, politik, ekonomi, budaya bahkan agama sekalipun hanyut dan terhanyut oleh corona, luar biasa pandemi ini telah berhasil memunculkan nilai nilai baru dalam tatanan kehidupan ummat manusia hari ini.

Dokter menghimbau jaga jarak sosial, social distancing. Lalu MUI memperkuat himbauan itu dengan mengeluarkan fatwa agar tidak sholat Jumat atau sholat berjamaah di masjid. Logikanya, kalau Anda setuju dengan saran dokter, harusnya Anda juga setuju dengan fatwa MUI. Khan esensi dari saran dokter dan fatwa MUI adalah "jaga jarak". Dihimbau untuk tidak berjam'ah atau jumat supaya kita bisa jaga jarak. Jaga jarak bisa memutus penyebaran corona. Dalilnya begitu.

Harusnya fatwa ulama menjadi suara terakhir yang harus didengarkan ummat Islam. Suara ulama adalah suara tertinggi dan paling suci. Suara ulama adalah suara Tuhan. Oleh karena itu, harusnya tidak ada lagi yang bertengkar soal fatwa. Ulama ditiru dan dipatuhi fatwahnya karena kapasitas keilmuan dan kredibilitasnya di bidang agama. Mereka itu menguasai Alquran Hadist, hafal tarikh Islam, ilmu rafsir, belajar bahasa Arab, dan seterusnya. Lha, kamu ?

Para ulama yang duduk di MUI, tentu saja bukan sembarang ulama, kapasitas dan kredibilitas keilmuan mereka tidak diragukan lagi. Butuh waktu lama utk sampai menjadi ulama. Belajar agama lewat youtube, WA dan medsos tidak akan sampai pada tangga ulama, karena di sini, di medsos banyak ajaran HOAX.

Keputusan MUI tentang sholat jumat diganti dgn sholat duhur terutama zona terpapar virus tentu bukan keputusan asal-asalan. Berbagai dalil aqli dan naqli, termasuk pertimbangan sosioculktur telah mereka pelajari secara saksama. Kalau Anda tidak meragukan keilmuawan ulama, harusnya Anda juga tidak ragu dgn fatwa ulama tentang sholat Jumat. 

Kalau saya sendiri melihat tak masalah dgn himbauan itu. Kalau dilarang sholat berjamah atau Jum'ah di masjid, kita sholat saja di rumah masing- masing secara berjama'ah. Yang menjadi masalah adalah kalau kita tdk sholat sama sekali, lalu mempersoalkan fatwah MUI. Saya yakin, jauh atau dijauhkan dari masjid utk sementara waktu, bukan berarti menjauh dari Tuhan, Ummat muslim dihimbau utk tidak sholat jum'at tentu saja karena ada sebabnya.

Saking anti-nya terhadap fatwa itu, seorang mahasiswa magister sampai mengatakan ;

"lebih baik mati di masjid daripada mati mengurung diri di rumah".

Emangnya kamu pikir mati di masjid langsung masuk syurga. Lalu bagaimana kalau org tua Anda mati saat ia sdg sujud dan berzikir di rumah, apa ia masuk neraka. Terus para dokter yg mati di rumah sakit karena virus itu masuk neraka. Itu semua adalah spekulasi manusia soal syurga dan neraka.

Sebenarnya, kalau beragama ukurannya adalah pahala, maka ada banyak sumber pahala yg bisa kita lakukan utk mengganti pahala ibadah Jum'at. Misalnya ngaji, sholat duha, puasa sunnat, tahajut dan berzikir, mengajar ngaji anak-anak dan istri-istri, dan keluarga. Itu semua punya nilai pahala dan ibadah. Jgn pernah berpikir bahwa hanya yg sholat di masjid yg masuk surga. Bahwa sholat jumat atau berjamaah di masjid itu wajib. Setuju. Di dalam kehidupan itu, ada banyak hal yg harus diperhatikan, termasuk soal kesehatan diri dan orang lain. Tidak melulu soal sholat. 

14  Abad yg lalu Nabi Muhammad wafat, ajaran- ajarannya sudah ada dan sempurna. Nabi tidak mewariskan harta, tapi ajaran dan ilmu. Tp semua ajaran itu tidak akan dipahami oleh ummat kecuali atas tinta dan peran ulama. Semua ajaran Nabi Muhammad diwariskan kepada para ulama. Tugas ulama adalah menjelaskan ajaran Nabi. Lalu kita ikuti. Ini makna ulama warasatul anbiya.

Saya tidak yakin Islam di Bima akan hancur, iman kita rusak hanya karena melaksanakan himbauan MUI. Musuh umat Islam bukan ulama, tetapi musuh kita adalah keterbelakangan, kemiskinan, moralitas anak anak muda, dll.

Kita ummat Islam, jgn pula takabur soal corona menurut ilmu kedokteran tidak ada org yg kebal terhadap virus ini. Ia bisa menginveksi siapa saja, tanpa permisi soal gama, suku, profesi apa saja, semakin tinggi tingkat keshalehan seseorang bukan berarti tdk bisa dipapar oleh virus ini.

Dalam kepustakaan medis, tak ada istilah penyakit kutukan. Apalagi kutukan yg hanya menyasar kelompok orang, budaya atau agama tertentu. Istilah kutukan itu sebuah mitos yg pernah ada di mana lalu yang bisa dipersoalkan kebenaranya secara sains modern. Mempertandingkan mitos versus logos bukan lg eranya. Era mitos sudah selesai, kita sedang menuju era rasionalitas logos. 

Mari, demi kesehatan kita lakukan tindakan priventif, ikuti saran dokter, amankan fatwa MUI.

Semoga wabah penyakit atau pandemi global coronavirus disease - Covid 19 ini segera berlalu dihadapan kita semua, dan tidak meninggalkan fitnah serta ghizwul fiqri yang berkepanjangan kepada kita semua Aamiin


*Penulis adalah Dosen STKIP 
  Kota Bima Nusa Tenggara Barat

Sholat Berjamaah dengan Shaff Distancing, Sahkah ?

Berita by Admint

Oleh KH. Dr. Muhammad Nursalim


Opini



.
.
 Fikih itu tak ada matinya. Karena ajaran agama memang shalih likulli zaman wal makan (cocok di segala waktu dan tempat). Rahasianya ada pada kaidah, tsawabit wa mutaghayirat (yang harus tetap dan yang boleh berubah).

 Shalat itu tsawabit. Selama manusia masih hidup dan memenuhi syarat ia wajib shalat. Adapun teknisnya adalah mutaghayirat. Boleh berubah. Tidak bisa berdiri boleh duduk. Tidak dapat duduk boleh berbaring. Tak bisa berbaring dengan telentang. Tak bisa telentang dengan isyarat.

 Di medan perang, malah ada ajaran shalat berjamaah yang unik. Seperti difirmankan Allah berikut:

 Dan apabila engkau berada di tengah-tengah mereka lalu engkau hendak melaksanakan shalat bersama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri bersamamu dan menyandang senjata mereka. Kemudian apabila mereka yang shalat bersamamu sujud (telah menyempurnakan satu rakaat) maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu untuk menghadapi musuh dan hendaklah datang golongan  lain yang belum shalat, lalu mereka shalat denganmu. Dan hendaklah meraka bersiap siaga dan menyandang senjata mereka. Orang-oarang kafir ingin agar kamu lengah  terhadap senjatamu dan harta bendamu, lalu mereka menyerbu kamu sekaligus. Dan tidak mengapa kamu melatakkan  senjata-senjatamu jika kamu mendapat suatu kesusahan karena hujan atau sakit dan bersiap siagalah kamu. (An Nisa: 102)

 Dalam fikih, shalat yang diceritakan di atas disebut shalat khauf. Yaitu shalat dalam keadaan perang. Meskipun genting tetapi shalat tetap harus dilakukan. Teknisnya rumit, dan  jarang dipraktekkan. Yang pasti sangat berbeda dengan shalat jamaah biasa.

 Maka tatkala korona menerjang. Banyak tata cara sholat berubah. Bagi tim kesehatan yang memakai APD lengkap dan lagi berjibaku menangani pasien boleh menjamak shalat. Bahkan bila wudhu dan tayamumpun tidak mungkin dilakukan ia boleh shalat tanpa wudhu. Yang penting tetap shalat.

 Shalat jum’at boleh diganti dengan dhuhur. Dan bagi korban korona, ia haram melakukan shalat jum’at di masjid. Karena akan menulari jamaah lain. Begitu bunyi fatwa MUI no 14 tahun 2020.

 Belakangan beredar gambar dan video, shalat jamaah dengan jarak shaf antara satu jamaah dengan jamaah lain satu meter. Membuat barisan shalat dengan prinsip social distancing.

 Dalam kondisi normal, barisan shalat jamaah itu harus lurus dan rapat. Sebagaimana sabda Nabi berikut:

عَنْ أَنَسٍ عَنِ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ « سَوُّوا صُفُوفَكُمْ فَإِنَّ تَسْوِيَةَ الصُّفُوفِ مِنْ إِقَامَةِ الصَّلاَةِ

Dari Anas ra, dari Nabi saw bersabda, “luruskan barisan kalian karena lurusnya barisan itu termasuk kesempurnaan shalat” (HR. Bukhari)

Hadis ini sering diucapkan imam sebelum memulai shalat. Beberapa jamaah ada yang menjawab, “sami’na wa atha’na”. Baru kemudian shalat jamaah dimulai.

 Ada juga hadis yang lebih rinci, seperti hadis berikut ini.

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « رُصُّوا صُفُوفَكُمْ وَقَارِبُوا بَيْنَهَا وَحَاذُوا بِالأَعْنَاقِ فَوَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ إِنِّى لأَرَى الشَّيْطَانَ يَدْخُلُ مِنْ خَلَلِ الصَّفِّ كَأَنَّهَا الْحَذَفُ
Dari Anas bin Malik ra, dari Rasulullah saw bersabda, “ rapatkan barisan kalian dan dekatkan antara barisan, sejajarkan leher-leher. Demi jiwaku di tangan-Nya, sunguh aku melihat setan memasuki sela-sela shaf seperti anak kambing. (HR. Abu Dawud)

 Jelas sudah. Ajaran shalat jamaah itu, barisan harus lurus dan rapat. Ini tentu dalam keadaan normal. Adapun dalam situasi sekarang ini boleh berubah. Karena khawatir tertular korona bila shalat berdekatan.

 Sebenarnya  beberapa daerah sudah boleh tidak jum’atan dan shalat jamaah. Ini bila merujuk pada fatwa MUI. Fatwa nomor 3 huruf a berbunyi begini.

 Dalam hal ia (orang sehat) berada di suatu kawasan yang potensi penularannya tinggi atau sangat tinggi berdasarkan ketetapan pihak yang berwenang maka ia boleh meninggalkan shalat jum’at dan menggantinya dengan shalat dhuhur di tempat kediaman, serta meninggalkan jamaah shalat lima waktu, terawih dan ied di masjid dan tempat umum lainnya.

 Persoalannya, banyak daerah yang potensi penularannya tinggi tetapi  pihak berwenang belum mengeluarkan ketetapan. Kecuali Jakarta dan Solo. Untuk DKI, Anis Baswedan sudah mengeluarkan Seruan Gubernur dan untuk kota solo wali kota sudah menetapkan wilayahnya sebagai daerah KLB covid-19.

 Selain dua kota itu umat Islam mengalami dilema. Jika tidak berangkat shalat jamaah dan jum’at yang berwenang belum  mengeluarkan ketetapan. Sementara jika tetap shalat di masjid takut ketularan korona. Maka membuat barisan shalat yang berjarak satu meter menjadi pilihan. 

 Masalah kemudian muncul, apa boleh shaf shalat memakai social distancing seperti itu ?.  Untuk menjawab pertanyaan tersebut berikut saya kutibkan pendapat imam Nawawi dalam kitab al Majmu’.

يشترط لصحة الاقتداء علم المأموم بانتقالات الامام سواء صليا في المسجد أو في غيره أو أحدهما فيه والآخر في غيره 
Syarat sahnya berjamaah itu makmum mengetahui berubahan gerakan imam, baik itu shalat di masjid atau di tempat lain. Atau salah satu pihak ada di masjid dan yang lain di luar masjid.

 Ketika  makmum mengetahui perubahan gerakan imam, baik dengan melihat langsung, mendengar suaranya atau mengetahui dari makmum yang lain. Maka shalat jamaahnya sah. Menurut jumhur ulama jarak makmum dengan imam tidak lebih dari 300 dzira (14,4 km).

 Tidak ada syarat, sahnya shalat itu barisannya harus rapat. Seperti juga  terjadi di  masjid haram. Makmum  terpencar di  mana-mana. Di pinggir jalan, di trotoar, di depan toko bahkan di lorong-lorong yang cukup jauh dari masjid. Banyak yang membuat barisan tetapi tidak sedikit yang berdiri sendiri, karena space yang sempit.

 Walhasil, shalat dengan shaf social distancing itu sah. Tetapi memang tidak sempurna.  Sebagaimana orang yang shalat sambil duduk. Shalatnya sah walupun tidak sempurna. Soal pahala, Allah lebih tahu mana yang pantas mendapatkan balasan istimewa.

Ditulis oleh Tim Suara Cendekia.