Opini
Komunikasi politik gagal, omongan pejabat negeri memanen kontroversi.
Oleh. Alfi Syahrin, M.Si.*
Di tengah arus demokratisasi dan keterbukaan saat ini, komunikasi politik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi semakin penting. Hubungan antara
pemerintah dan rakyat dan sebaliknya memerlukan komunikasi politik yang inovatif, efektif dan solutif agar tidak terjadi penyesatan informasi dan manipulasi kebenaran informasi. Sayangnya Akhir_akhir ini suasana batin publik banyak diusik oleh hiruk pikuk dan lalu lalang arus distribusi informasi yang cenderung kehilangan validitas, baik dari segi konten, konteks maupun substansi.
Pejabat publik yang merupakan representasi kekuasaan sepertinya tidak solid dan memiliki cukup kapasitas dan integritas untuk membangun kepercayaan publik atas kebenaran informasi dan pesan yang disampaikan.
Salah satu contoh misalnya perseturuan Menkopolkam dan menteri agama soal (SKT) ormas FPI yang hingga kini masih diperdebatkan secara kontroversial. Demikian juga dengan isu dan gagasan populis presiden soal kartu pra_kerja, pemindahan ibu kota, mobil SMK, pengangkatan tenaga honorer, solusi kerusuhan Papua, BPJS, soal hutang luar negeri, tax amnesti, celana cingkrang dan yang fenomenal tentu soal penanganan virus corrona(covid 19) yang cenderung ditutup_tutupi pemerintah.
Penjelasan, klarifikasi dan konfirmasi yang diucapkan oleh pemerintah tidak cukup memuaskan dahaga publik. Sebaran informasi yang simpang siur dan diragukan kebenaran otentiknya baik yang bersumber langsung dari otoritas pemerintah maupun yang diperoleh publik melalui bacaan di media sosial. Secara antropologis wajar menimbulkan kecemasan, ketakutan dan teror psikologis. publik menjadi sulit percaya kepada pemerintah.
saya melihat kekuasaan gagal merancang model komunikasi politik yang aspiratif dan berintegritas sehingga koheren dengan ekspektasi publik. Padahal di negara demokrasi peran komunikasi politik sangat strategis juga vital untuk menghindari distorsi kepentingan kekuasaan dan mereduksi kebingungan publik.
Saya menyimak secara kritis dua periode kekuasaan nasional kita. Pejabat negara sepertinya sangat amatir dan gagap mengemas dan mengelola pesan informasi publik yang estetik juga kredibel. Kompatriot presiden seperti Moeldoko, Luhut Panjaitan dan Ali Ngabalin sering menyampaikan komunikasi politik yg mewakili cara pandang, perasan dan sikap pribadi daripada mewakili otoritas negara dalam mengkomunikasikan soal progres dan sengkarut masalah kekuasaan negara.
Pernyataan satu penjabat dengan yang lain tidak koresponden dan kohesif dengan realitas objektif yg terjadi. Akibatnya sering diralat dan dikoreksi. Secara teoritis penyataan yg dikoreksi menunjukan ketidakcakapan, ketidakmatangan dan kekeliruan dalam mengorganisasikan isi pesan.
Komunikasi politik yang gagal akan mereproduksi persepsi dan opini publik yang buruk terhadap tubuh kekuasaan secara komprehensif. Sehingga publik kehilangan kepercayaan dan legitimasi pada pemerintah. Akibatnya setiap informasi yg bersumber dari negara diragukan kebenaranya oleh masyarakat.
Krisis kepercayaan publik pada negara semakin terlihat meluas. Tidak jarang gagasan kepala negara, inovasi dan kebijakan lebih banyak diragukan daripada dipercayai. Beberapa kebijakan seperti kartu_kartu sakti presiden malah jadi olokan dan lelucon. Publik membutuhkan kredibilitas dan kompetensi penyelenggara negara yang jujur dan tidak menyalahi komitmen.
Separuh kekuasaan kita disibukkan oleh polemik dan kontroversi dari soal reklamasi pantai Jakarta, politik identitas Anis_Ahok berlanjut hingga pilpres. Negara belum mampu berfungsi maksimal menjadi rumah bersama, tujuan bersama dan kepentingan bersama.
Komunikasi politik negara dan masyarakat masih dibangun dalam relasi yg hegemonik, streotipe dan prasangka. Akibatnya suara_suara kritis dibekukan dengan represi, rasionalitas publik dibungkam dengan regulasi subversif, protes dicurigai sebagai tindakan makar.
Oleh karena itu, kita butuh komunikator politik negara yang handal yg Menyajikan informasi yang jelas, benar dan akurat. Sehingga siapa mengatakan apa, dimana, kepada siapa dan efek apa yang ingin negara bentuk, disampaikan oleh orang yg tepat.
*Penulis. Kandidat Doktor UNHAS.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar