Cari Blog Ini

Sabtu, 06 Juni 2020

Determinasi Diri Saat Pandemi

Opini

                 



Penulis

Oleh: Nukman Mukhtar*

“Ketika berharap sesuatu yang besar, kita memperoleh semangat dari sebuah tujuan, yaitu keberanian untuk menghadapi semua rintangan” Jean Marie Guyau (Filsuf Prancis).

Mari kita akui. Di rumah saja, memang menjenuhkan. Ruang gerak sosial yang dibatasi, pasti nggak mengenakan. Interaksi yang serba diatur, tentu nggak nyaman. Tatap muka via online, sungguh nggak mengasyikan. Selalu dibayangi ancaman covid, meresahkan. Memakai masker setiap hari, rutinitas yang membosankan. Dan masih banyak lagi deretan aktivitas sehari-hari yang kita jalani di luar kebiasaan selama ini, terasa berat dan membosankan untuk dilakukan. Terlebih jika hal itu berkaitan dengan terbatasnya menjalani aktivitas mata pencaharian dan keagamaan.

Tapi, sejak covid dinyatakan sebagai pandemi oleh WHO sekitar awal Maret 2020, rutinitas aktivitas (sosial ekonomi), interaksi (silaturahmi), dan spiritualitas (keagamaan), dengan pola baru itu harus dijalani demi keselamatan semua kita, manusia. Memang, sangat kontras jika dibandingkan dengan hari-hari yang kita jalani sebelumnya. Keadaan inilah yang oleh sebagian orang diantara kita menyebutnya sebagai abnormal. Ada pula yang menamakannya new normal atau normal baru.

Dua istilah, yang hampir dipastikan telah mengundang perbincangan di publik. Tulisan ini tak hendak masuk ke dalam perdebatan dua hal itu, apalagi hanya berkutat pada soal semantiknya. Sebab penulis beranggapan, apapun sebutannya, satu hal yang pasti, tugas kita saat ini selain menghindar dari penyebaran Covid-19, juga bagaimana menjaga optimisme dan merawat harapan. Baik saat menjalani masa pandemi (yang entah kapan berakhirnya) ini maupun dalam konteks memproyeksikan masa depan di kemudian hari.

Karena itu, di tengah keprihatinan yang mendalam atas terus bertambahnya warga yang terpapar covid, bahkan menyasar hingga ke anak-anak, bagi “kaum abnormal” maupun “kaum new normal” tidak cukup hanya berdiam diri sambil menunggu pandemi Covid-19 ini berakhir.

Kita semua harus senantiasa mensiasati keadaan dengan perilaku adaptif atau bersikap damai dengan covid. Kalimat sekaligus anjuran yang belakangan ini juga menuai banyak perbincangan. “Berdamai dengan covid?” Emang bisa? “Kalau virusnya nggak mau damai gimana,” kata mantan Wapres Jusuf Kalla beberapa waktu lalu.

Tak mudah memang. Sampai-sampai Wakil Presiden RI, K.H. Ma’ruf Amin, mengungkapkan permohonan maafnya atas nama pemerintah karena pandemi Covid-19 belum bisa berakhir di Indonesia. Kata Pak Wapres, ini semua karena belum ditemukannya vaksin atau obat Covid-19. Selain itu, karena faktor jumlah penduduk dan aspek geografis Indonesia.

Berkaitan dengan itu, saya sependapat dengan pernyataan yang mengatakan, tidak ada yang lebih baik untuk mengobati, serta menjadi sahabat dan saudara, dalam situasi saat ini, kecuali kita mampu menghidupkan harapan.

Ya, harapan. Itulah yang harus kita hidupkan saat ini. Saya menduga, untuk kepentingan menghidupkan harapan inilah pemerintah menyiapkan protokol masyarakat produktif dan aman covid-19, sebagai langkah menghadapi pandemi Covid-19 yang belum bisa dipastikan kapan berakhirnya.

Determinasi diri dan kebijakan pemerintah yang mengintervensi keadaan ini, menjadi instrumen penting bagi kita untuk mensiasati pengaruh pandemi. Hal ini agar produktivitas keseharian yang kita jalani dapat terjaga dan terus menghasilkan sesuatu yang bermanfaat -sekecil apapun itu- untuk sesama.

Karena produktivitas adalah tentang membuat pilihan yang cerdas (secara terus menerus) dengan energi, fokus, dan waktu untuk memaksimalkan potensi serta meraih hasil yang bermanfaat. (Mohammed Faris : 2019)

Harapan adalah pintu pembuka dari karakter. Menghadirkan karakter hanya bisa dilakukan jika sesuatu itu dilakukan secara berulang-ulang. Di sinilah pentingnya kedisiplinan. Jika energi, fokus, dan waktu, yang kita miliki secara kontinu menghasilkan sesuatu yang bermanfaat, di situlah lahir produktivitas. Pilihan pada abnornal atau new normal, masing-masing memiliki konsekuensi bagi hidup kita. Wallahu’alambishawab.



*Penulis adalah Ketua DPD
   FGII – NTB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar