Cari Blog Ini

Kamis, 09 April 2020

Catatan Kritis tentang Demokrasi di Tahun Politik

Berita by admint

                *By. Alfi Syahrin, M.Si.

Opini


     Praktek demokrasi tidak selalu berjalan linear dalam perpolitikan suatu negara. Potret demokrasi sebagai sistem politik yang dianut oleh mayoritas banyak negara di berbagai belahan dunia telah melahirkan aneka ragam kontroversi, gugatan bahkan tragedi dalam kehidupan warga negara.
      Salah seorang teoritikus politik seperti Francis Fukuyama bahkan dengan tegas mengatakan bahwa demokrasi telah menjadi pemenang yang menaklukan seluruh kontestasi ideologi. mulai dari sistem teokrasi, monarki hingga komunisme tumbang dijungkal oleh demokrasi.  
      Pemikir lain seperti Robert Dahl memiliki pandangan yang sama bahwa hanya demokrasilah yang bisa mewujudkan kesetaraan, kebebasan dan konsensus  melalui konstitusi yang kadang nyaris tanpa konfrontasi.
    Sehingga tidak salah seorang pencetus ide demokrasi  Aristoles menyebutkan demokrasi merupakan jalan untuk mewujudkan aspirasi kemaslahatan bersama(public virtue) dan sipil yang beradab(civic virtue). Akan tetapi dalam prakteknya gagasan mulia demokrasi cenderung dkhianati secara retoris, spekulatif dan pragmatis di mulut, perilaku dan  tindakan politisi.
      Saat ini demokrasi dalam pandangan penulis, tidak sedang berjalan baik sebagaimana kehendak konstitusi tetapi bergerak sesuai selera politisi, penguasa dan pesanan korporasi. Oleh Karena itu aturan hukum banyak yang dibuat hanya  sekedar untuk memenuhi keinginan pengusaha, perumusan kebijakan oleh penguasa syarat dengan akomodasi kepentingan politik sesat. Akibatnya demokrasi bergerak liar, kebebasan hampir tidak memiliki batasan lagi. Orang_orang berlomba bersuara paling keras hanya agar disebut sebagai yang kritis dan populis.
       Demokrasi menjadi kehilangan substansi karena kemewahannya hanya dinikmati elit bukan publik. Politisi berlomba ganti safari, jas, mobil dan perabot tanpa etik, etos, dan atensi menaikan standar kesejahteraan kehidupan publik. Setiap lima tahun politisi disuksesi tetapi nasib masyarakat tidak kunjung berubah. Infrastruktur jarang dibangun merata, harga komoditas tani murah, fasilitas publik minim, infrastruktur kesehatan tidak memadai, upah buruh tidak dikoreksi bahkan pupuk jadi komoditas langka karena politisi tidak tegas rumuskan solusi.
      Satu_satunya yang banyak berubah hanya penampilan oknum politisi yang makin gendut, parlente dan  mewah. Gayanya melangit, asetnya menumpuk tapi soal prestasi hasil kerja menuntaskan aspirasi publik jarang membumi.  politisi lebih sibuk menyusun transaksi mengembalikan ongkos politik di pileg dan pilkada. Tetapi tidak sibuk memerangi oligarki, borjuasi di partai politik dan supervisi kerja-kerja timpang penguasa. 
   Bagi saya problem kultural dan struktural dari politik dan demokrasi kita. Bukan berada pada lapisan grass root tetapi ada di puncak elit. Borjuasi dan kapitalisme politik banyak dipraktekan elit dan menjadi identitas politisi yang sudah mentradisi. Sehingga tidak heran publik menjadi pragmatis memilih politisi yang hanya mau dan sanggup membayar suara. 
      Ongkos politik yang mahal menjadi sebab gurita korupsi di era reformasi. Karena publik kecewa pada politisi yang kerap ingkar janji. Demokrasi menjadi praktek bernegara yang simbolis, formal dan legalistik tetapi kehilangan makna kritisnya yang substantif.
     Demokrasi akan mati seperti ramalan Steven Levitski seorang profesor politik Harvard dalam How Democracy Die. Tidak karena terpilihnya pemimpin otoriter dan kudeta tetapi karena perlahan_lahan matinya sikap kritis publik yang tidak kita sadari. Hanya setelah era reformasi kampus-kampus menjadi jinak pada kekuasaan, mahasiswa mati daya kritisnya membangun solidaritas mekanik mereduksi hegemoni negara yg diskriminatif, bahkan LSM_LSM ramai merapat pada kekuasaan.
      Gelar_gelar honoris Causa marak diberikan pada politisi tanpa kontribusi pada masyarakat dan ilmu pengetahuan, ikatan_ikatan alumni ketuanya orang dari istana dan birokrasi. Sehingga dialektika demokrasi mati dalam otoritas kekuasaan. Seiring matinya sikap oposisi warga negara hal ini bukan pertanda baik bagi kelanjutan nafas kehidupan demokrasi karena kehilangan sikap kritis publik menjadi sangkakala penguburan hidup_hidup demokrasi.

* Penulis Kandidat Doktor
   Universitas Hasanuddin Makassar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar