Alfi Syahrin, M.Si.
Opini
Kita sebagian mungkin tau teori pembagian kerja dari Marx yang disebut(division of labour) bahwa setiap pekerjaan harus dilakukan oleh orang yang ahli dibidangnya. Orang yang kompeten biasanya bicara, bertindak dan melakukan pekerjaannya tepat sesuai pengetahuannya.
Manusia memang memiliki bakat dan kemampuan potensial untuk menguasai dan mengatasi banyak hal dalam hidupnya.Kapasitas ini disebut omni kompetence oleh Tom Nichols. Hal unik dalam kehidupan masyarakat yang memiliki sistim pembagian kerja yang ketat dan terspesialisasi. Kita dirancang untuk membebaskan diri dari keharusan mengetahui semua hal.
Sehingga pilot tugasnya hanya menerbangkan pesawat, pengacara mengajukan tuntutan hukum, dokter memberikan resep, apoteker meracik obat, pemerintah mengeluarkan kebijakan dan ulama memberi fatwa.
Kita bukan Davinci yang melukis Mona Lisa pada pagi hari dan merancang Helikopter pada malam hari. Kehidupan budaya, tradisi intelektual,sastra, politik dan demokrasi kita terlalu dini memakamkan kebiasaan literasi, citasi(kutip, mengutip referensi) dan eulogi(memuji) atas integritas dan karya pengetahuan dari orang_orang hebat yang bicara berdasarkan ilmu, pengalaman, reputasi dan integritas.
Publik di era post truth ini telah menjadi pemuja orang awam yang berlagak pintar. Intelektual yang benar_benar pintar dianggap sok tau, ulama dengan kredibilitasnya dilecehkan fatwanya, pemerintah dengan otoritasnya dibuat jenaka oleh netizen yang hanya percaya informasi medsos yang validitasnya tidak terkonfirmasi.
Akibatnya kita tidak kritis dan presisi memegang sejumlah kebenaran melainkan semua kebenaran, bahkan kebenaran yang tidak benar sekalipun. Argumentasi yang benar harus dilandasi prinsip dan data karena itu tanda kesehatan intelektual. Akibatnya kekacauan, kecemasan, dan depresi publik tinggi. Soal covid 19 misalnya publik tidak sibuk menyelamatkan diri lewat isolasi diri, sosial distancing, mencukupkan gizi dan nutrisi agar imunitas dan vitalitas tubuh menjadi baik.
Tetapi masyarakat justru ramai bertengkar, saling hujat, caci maki dan agresif membagun opini dan narasi provokatif menyerang menyalahkan pemerintah. Harusnya saat bangsa diuji yang dibutuhkan adalah soliditas, solidaritas, pengertian dan kesadaran untuk menyumbangkan perilaku, sikap dan pikiran produktif. Bukan resistensi karena orang_orang yang bekerja dalam negara adalah mereka yang keahliannya terspesialisasi bukan gerombolan tanpa kompetensi.
Kita seperti kehilangan adab sebagai warga negara. Saat negara_negara lain menunjukan kerjasama, integrasi, kolaborasi dan partisipasi menyelesaikan soal pelik covid 19 yg membunuh ribuan manusia. Politisi kita malah sibuk bangun pertemuan konsolidasi, publik, masyarakat ramai di tempat rekreasi sisanya protes sholat jum'at diganti dhuhur.
Sains dan agama pun dibenturkan. Sejatinya sikap seperti ini mematikan kebenaran ilmu pengetahuan dan kebenaran agama sekaligus. Orang_orang dengan pikiran dan perspektif ortodoks dengan modal android, kartu perspustakaan dan laptop merasa dirinya sebagai timbunan pengetahuan. Kritik Nichols.
Kerap kali kita akrab dan bertemu mereka yang picik, tekstual dan anti kontekstual dalam berpikir. bisa jadi mereka adalah temen kerja, sahabat, bahkan anggota keluarga. Lihatlah di medsos mereka merasa yakin dirinya tahu lebih banyak dibandingkan ahli, berpengalaman luas dibandingkan dengan para dosen, dan lebih berwawasan dibandingkan dengan dokter dan profesor karena memposisikan diri sebagai sumber dan wadah pengetahuan. Sehingga menjadi orang yang maha tau mulai dari sejarah imperialisme politik sampai bahaya vaksin.
Pengetahuan dasar dan argumentasi publik saat ini sangat rendah, bahkan hampir menembus lantai. Hal2 ngawur dipercaya, informasi bodong jadi keyakinan karena kita menolak belajar belajar, berguru dan mendengar kepada ahli ilmu.
Era post truth membuat fakta,kompetensi dan otoritas menjadi serba relatif karena itu diperlukan sikap kritis untuk mengembalikan cara pikir pada akal sehat ilmu pengetahuan. Kita dituntut cerdas di tengah kemajuan dan laju informasi karena mendengarkan kebenaran sains dan intelektualisme mencegah kita dari kemujudan, taklid dan fanatisme buta.
Saya mengamati bahwa keributan sosial, ekonomi dan politik dan terakhir soal pandemi covid 19 banyak bersumber dari apa yang disebut Tom Nichols dengan factoid(pernyataan palsu yang disajikan sebagai fakta atau berita)dan gagasan setengah matang. Kemudian disebarluaskan dalam informasi elektronik.
Alexis de Tocqueville mengatakan saat orang_orang tidak lagi percaya pada otoritas sains ilmu pengetahuan. Tidak terpikat pada kebenaran yang diajukan ilmuan dan kecerdasannya berarti orang_orang telah memuja dan meyakini kebenaran awamnya sendiri yang menyesatkan. Kalau ini terus terjadi maka, otoritas negara, sains dan agama hanya menunggu lonceng kematian di tangan para netizen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar